Jika kita meninjau kembali pertalian antara seni, kreativitas, dan teknologi, dapat dikatakan bahwa ketiga komponen itu sudah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ketiganya hadir berkelindan dalam satu kesatuan utuh dan melebur dalam proses kreatif para seniman hingga melahirkan karya seni dalam berbagai genre dan bentuk. Tidak hanya itu, pertemuan ketiganya juga telah membawa perubahan besar dalam cara berkesenian, cara pandang, dan cara menikmati serta mengapresiasi karya seni. Hal itu sekaligus juga membawa kita untuk meninjau dan merenungkan kembali tentang konsep seni dan batas-batas kreativitas serta peran serta teknologi di dalamnya. Persoalan yang rumit muncul ketika kita ingin memilah-milah dan memberi batas yang jelas antara karya seni yang asli dengan tidak asli, tradisi atau kontemporer, buatan manusia atau mesin, dan banyak lagi persoalan dalam seni yang mengaburkan pemahaman kita.
Dalam kaitan itu, para seniman dan pegiat seni seolah bertarung dengan arus perkembangan globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjawab tantangan soal ide, kreativitas, dan keahlian seni yang mereka miliki. Persoalan sentuhan tangan, rasa, dan keindahan dalam proses mencipta menjadi persoalan rumit ketika teknologi telah menembus batas-batas ide, kreativitas, dan cara kerja manusia. Kita tahu bahwa di satu sisi, perkembangan teknologi memang telah membawa dampak positif dan memudahkan setiap kerja manusia, termasuk para seniman. Namun, di sisi lain, teknologi boleh jadi dapat menjadi ancaman mematikan ketika kreativitas dan kerja manusia tidak banyak lagi dibutuhkan dan digantikan oleh mesin. Tantangan itu juga membawa kita pada persoalan seni tradisi yang selama ini menjadi akar dan jati diri bangsa. Apakah kesenian tersebut dapat kita pertahankan dalam bentuk “asli”nya atau harus kita beri sentuhan teknologi agar terus hidup dan bertahan. Tidak dapat disangkal bahwa kita membutuhkan teknologi untuk dapat menyelamatkan kesenian itu agar sampai kepada generasi berikutnya. Namun, persoalan berikutnya, seberapa canggih dan hebat berbagai teknologi dan media untuk dapat membekukan setiap elemen dan komponen seni yang lahir dari memori para seniman, misalnya dalam bentuk ujaran lisan, ekspresi, gerak, suasana, dan banyak lagi. Lantas, bagaimana cara kita berdamai dan bernegosiasi dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dewasa ini menyeruak ke dalam berbagai sisi kehidupan, tanpa terkecuali dalam berkesenian.
Untuk menjawab berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, para pegiat dan pemerhati seni berusaha menggali dan memberikan perspektif lewat tulisan-tulisan mereka yang hadir dalam edisi Jurnal Cikini kali ini. Melalui berbagai studi kasus, data, metode, cara kerja, dan sudut pandang, mereka berusaha mengamati berbagai dinamika pertemuan antara seni, kreativitas, dan teknologi. Artikel-artikel yang telah lolos seleksi dari tim editor dan reviewer dalam edisi kali ini menyajikan berbagai sudut pandang dan temuan dalam memandang persoalan yang menjadi tajuk utama editorial pada edisi ini. Fatma Misky dan Diandra Dwi Ananda tentang “Analisis Perubahan Desain Karakter Game Mobile Legends Pendekatan Manga Matrix” berusaha menjelaskan tentang visual karakter dalam Mobile Legends Bang Bang. Ia mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan pada desain karakter pada sebelum dan sesudah revamp dalam game Mobile Legends Bang Bang. Penelitian ini membedah perbedaan desain karakter Freya dan Franco sebelum dan sesudah revamp dengan menggunakan Manga Matrix. Penulis artikel ini berharap temuannya dapat menjadi acuan dalam pengembangan visual terutama pada desain karakter.
Selanjutnya, Taris Zakira Alam dan Jerry Haikal mengemukakan pandangannya tentang “Dampak Produksi Desain Grafis Pada Penggunaan Teknologi Artificial Intelligence (AI) Dengan Menggunakan Grounded Theory”. Dalam tulisan itu, kedua penulis membahas tentang Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang memiliki dampak yang signifikan terhadap produktivitas desainer grafis dalam berkarya. Menurutnya, AI dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja para desainer dalam membuat karya. Namun demikian, ia menambahkan bahwa AI juga menimbulkan sejumlah risiko dan tantangan besar terkait kualitas, peluang terjadinya plagiarisme, penipuan, dan penyalahgunaan AI. Selanjutnya, ada tulisan Martinus Eko Prasetyo dan Chevalier Adiman Koronka Sanjaya tentang “Perancangan Film Dokumenter Kolintang di Rumah Budaya Nusantara Wale Ma’zani Tomohon”. Para penulis mengemukakan bahwa bantuan teknologi lewat film dokumenter dapat menjadi salah satu solusi dalam upaya pemertahanan dan pewarisan musik kolintang Minahasa.
Kemudian, ada artikel tentang “Buku Ilustrasi Edukasi Tentang Kepribadian Dasar untuk Meningkatkan Potensi Diri Bagi Remaja Kelas 3 SMA” yang ditulis Restu Hendriyani Magh’firoh dan Hellena Happy Victory. Penulis ini fokus menyoroti tentang pemahaman kepribadian manusia. Menurut para penulis, hal itu sangat penting dalam pengembangan potensi diri agar remaja dapat mengenali kekuatan, kelemahan, minat, dan bakat yang unik dalam diri mereka. Buku rancangan tersebut dibuat melalui empat tahapan, yaitu tahap riset, tahap perencanaan, tahap perancangan digital, dan tahap cetak agar buku ini tampil menarik untuk dibaca para remaja. Kemudian, ada pula tulisan Fepriana Chitra Sekar Ramadhani, Dinda Aisyah, Rava Syazwana Cahyadi Putri, dan Puri Kurniasih tentang “Analisis Design Thinking pada Poster Film KKN di Desa Penari (2022) versi Cut, Uncut, dan Extended”. Artikel ini memberikan gambaran tentang bagaimana kreativitas dan teknologi menyatu dalam perancangan poster film. Para penulis berusaha mengungkap makna visual poster berdasarkan proses kreatif desain yang ditampilkan dalam tiga versi berbeda untuk kebutuhan sasaran penonton film yang berbeda pula. Tulisan terakhir dalam edisi kali ini membahas tentang “Eksistensi Ornamen Gigi Balang sebagai identitas Masyarakat Betawi: Studi Kasus Masjid Raya Baitul Ma’mur”. Tulisan dari Yayah Rukiah, Khikmah Susanti, dan Rizki Saga Putra ini mengupas tentang ornamen Gigi Balang pada Masjid Raya Baitul Ma’mur lewat pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce. Menurut penulis ini, ornamen Gigi Balang tidak hanya sebagai elemen dekoratif, tetapi juga merupakan simbol kebanggan dan identitas budaya masyarakat Betawi. Lebih lanjut, penulis mengungkapkan bahwa kreativitas yang dihadirkan lewat ornamen tersebut memiliki makna yang mampu mencerminkan nilai-nilai tradisional dan sejarah masyarakat Betawi yang kaya dengan warisan budaya lokal. Dengan penelitian ini, penulis berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya lokal di tengah gempuran perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.