Tema yang diangkat dalam jurnal edisi Juni 2021 memberi “highlight” soal resiliensi dan bagaimana seni dan senimannya menunjukkan pola-pola resiliensi. Diharapkan bahwa edisi ini ini dapat memberi kontribusi terhadap kontinuitas percakapan mengenai seni dan senimannya, serta berbagi informasi dan juga berperan sebagai suatu advokasi agar seni dapat bertahan, berkelanjutan hidup dan berkembang tangguh dalam situasi dunia saat ini Resiliensi dapat didefinisikan sebagai suatu perkembangan dan proses dinamis yang merefleksikan suatu adaptasi positif meskipun adanya kesulitan kesengsaraan dan kemalangan yang harus dihadapi(Luthar et.al tahun 2000: Master 2001 dalam Luthar 2003). Dalam konteks ini, resiliensi dilihat sebagai suatu fenomena sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan seseorang dapat berlangsung baik-baik saja dalam keadaan beresiko meskipun adanya kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi dan harus diatasi. Dengan demikian juga dapat dikatakan bahwa resiliensi merujuk pada pola-pola kebertahanan atau yang disebut ciri resiliensi. Menurut beberapa peneliti, seperti Masten & dan Coatsworth tahun 1998 yang dikutip dalam dalam tulisan Masten dan Powell (Luthar et.al 2003), kemampuan tersebut berhubungan dengan kompetensi psikososial yang menonjol dalam performansi seseorang yang terdapat dalam konteks usia, masyarakat, budaya, dan masa historis. Studi-studi resiliensi juga menunjukkan adanya kompetensi kebertahanan terhadap trauma yang terjadi akibat perang, kelaparan, dan bencana. Manusia memiliki kemampuan adaptasi untuk berlindung dari trauma dan dengan menggunakan bingkai resiliensi, memungkinkan kita melihat dan mempromosikan kompetensi yang menonjol yang dimiliki seseorang atau kelompok masyarakat dalam keadaan sulit, agar bermanfaat di masa depan dengan tujuan dapat memperoleh pencapaian-pencapaian baru yang positif.

Penulis seperti Steven M. Southwick, Dennis & Charney (2018) dalam buku Resilience the Science To Mastering Life's Greatest Challenges mengacu pada lukisan seniman bernama Winslow Homer berjudul The Life Line yang dilukis tahun 1884, memperlihatkan seorang perempuan pingsan yang merupakan korban kapal tenggelam sedang diselamatkan oleh seorang laki-laki yang dengan gagah berani menyelamatkannya di tengah kondisi terpaan badai. Menurut Steven si pelukis Homer menunjukkan melalui ekspresi Karya seninya bahwa adanya selfless heroism di mana tindakannya dan bukan aktornya yang terlihat penting. Memang ada ada orang-orang yang tidak ingin disebut pahlawan dan menganggap tindakan heroiknya itu sebagai bagian dari pekerjaannya bukan mencari pujian untuk dirinya. Sifat resiliensi demikian juga dimiliki oleh kebanyakan manusia yang mampu tetap gagah berani dan kokoh melangkah menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan.

Dari masa ke masa seniman telah menunjukkan pola-pola resiliensi dan pada masa penuh ketidakpastian ini, UNESCO bahkan meluncurkan sebuah program ResiliArt yang diharapkan menjadi gerakan global untuk menyatukan semua manusia menghadapi pengaruh pandemi terhadap dunia seni. Tahun 2021 pandemi covid 19 masih berada di tengah masyarakat dunia dan berdampak pada dunia seni dan senimannya sehingga persoalan pola-pola resliensi masih sangat relevan untuk didiskusikan.

 

Published: 2021-06-30

Full Issue