Seni sebagai sebuah sistem yang holistik, terdiri dari kategori yang beragam. Setiap kategori seni dikonstruksi oleh tanda dan penanda (symbolic signifiers) yang berbeda dan yang membedakan satu dengan lainnya. Apabila kita merujuk pada periode Yunani kuno seorang tokoh di masa tersebut memformulasikan teori Mimesis. Tokoh tersebut yang bernama Aristoteles menyatakan bahwa bentukbentuk seni yang berbeda memiliki perbedaan dalam tiga hal yaitu pertama medianya, objeknya, dan caranya atau moda peniruan yang masing-masing memiliki distinksinya (Sui Yan, 2017). Selanjutnya pendapat sebelumnya seperti yang diutarakan Kenneth J. Fascing dan Nicholas Daniel Hartlep Varner (2015) yang memeriksa diskursus dalam pendidikan seni, mengatakan bahwa dimana ada retorika dalam studi terhadap ekspresi visual yang sudah menjadi sebuah disiplin ilmu bernama semiotics, maka seni sebagai tanda dan penanda dapat berperan membangun sebuah narasi budaya, identitas dan membangkitkan pemaknaan lama dalam tradisi atau melahirkan sebuah pemaknaan baru melalui penciptaan baru. Dengan demikian, karya seni dapat berkaitan dan melekat dengan relasi kuasa yang dapat mempengaruhi dan membangkitkan atau menjadi media perlawanan merepresentasikan berbagai macam ideologi politik. Peran Seni sebagai sebuah tanda dan penanda dengan demikian menjadi sebuah kekuatan yang dapat melahirkan, membangkitkan dan sebaliknya dalam posisi oposisi biner dapat pula menghancurkan cara pandang terhadap sebuah fenomena di tengah masyarakat. Jurnal Seni Nasional CIKINI edisi kali ini mengangkat isu tersebut melalui bahasan-bahasan yang menarik dalam artikel-artikel pilihan sebagai berikut sebagaimana ditulis dalam ulasan Ferdinan Indrajaya yang mengangkat sebuah perspektif filosofis dari Nussbaum bahwa Seni dapat memicu emosi-emosi kemarahan dalam sebuah relasi intim terhadap tragedi sebagai sebuah refleksi atas kemanusiaan terutama yang timbul di era pandemi. Karya tulisan Isye Agustina dan Panji Firman Rahadi dalam artikelnya mengargumentasikan bahwa busana sebagai ekspresi visual merupakan ekspresi makna melalui metafor. Penulis ini melihat bagaimana seni kostum direpresentasikan sebagai tanda dan penanda karakterisasi penokohan preman yang diangkat melalui karya seni film dengan keberpihakan pada nilai-nilai kebebasan berekspresi dan kesetaraan sosial. Lusiana Limono mengeksplorasi hasil penelitiannya terhadap budaya kain Patchwork and Quilts di Malang yang merupakan sebuah practice based research. Hasil kerja penelitiannya menemukan dan mengangkat pandangan bahwa melalui kerja seni kualitas hidup masyarakat dapat meningkat. Korelasi kerja seni tersebut berhubungan dengan budaya perempuan sehingga dapat dilihat bahwa seni sebagai tanda dan penanda menjadi bagian integral dari aktivisme membangun kesetaraan gender melalui budaya seni kriya tekstil. Diaz Ramadhansyah dan Irma Damajanti melakukan penelusuran sejarah ogoh-ogoh dan berargumentasi bahwa seni rupa Bali mengalami proses komodifikasi. Argumentasi ini dibangun penulis dengan menggunakan perspektif Adorno. Dengan demikian menurutnya nampak bahwa telah terjadi pergeseran makna dalam tanda-tanda seni masyarakat tradisi. Nilai-nilai sakral berubah jika tidak dapat dikatakan menghilang, melalui suatu bentuk kreativitas baru yang berkembang bertransformasi menjadi objek komoditas yang mengandung pola-pola nilai ekonomi. Kartika Oktorina penulis lain dalam edisi kali ini membahas seni tanda dan penanda dalam media bahasa rupa menggunakan diskursus semiotika dalam karya tulisnya mengulas Wayang Machine menggunakan pandangan teori semiotika Roland Barthes. Penulis juga menguraikan dalam artikelnya bahwa dengan melihat seni menggunakan kacamata semiotika dari perspektif seorang teoris Semiotika dari Indonesia bernama Wimba yang menggunakan skala ukuran, maka sebuah makna dari konteks konotatifnya dalam Seni Media Baru yang berangkat dari kekhasan kekayaan warisan budaya Indonesia dapat digali secara lebih mendalam. Heri Purwoko yang juga mengangkat isu wayang menelusuri fenomena wayang daun yang merupakan ekspresi budaya urban, sebagai media storytelling. Secara khusus, gejala budaya urban yang disoroti merupakan kerja seni Islami ciptaan Zak Sorga dan artikel ini mengangkat sebuah narasi bagaimana seorang seniman dapat berperan menjadi agen perubahan dan pelestari sekaligus. Argumentasinya adalah bahwa dengan kerja seni sebagai aktivisme lingkungan hidup, maka ada upaya melampaui keterbatasan-keterbatasan sosial untuk menyampaikan kepedulian dan kebertahanan dalam ruang urban di tengah hutan beton perkotaan.